Satu dari 3 bagian dari kasus Bank Century adalah bagian penyelamatan yang dilakukan LPS. LPS sendiri memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan Bank-Gagal. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas (Rp 2 miliar per nasabah dari sebelumnya Rp 100 juta). Dana LPS berasal dari negara (Rp 4 triliun sebagai modal awal) dan premi perbankan (bank membebankan kepada nasabah).
Jika fungsi pengawasan BI dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) bekerja optimal, maka kemungkinan besar kita tidak akan menyaksikan “drama” Century pada saat ini. Karena permasalahan sudah muncul ketika Bank Century ini terbentuk hasil dari merger 3 bank yang bermasalah pada tahun 2004. Namun, diakhir tahun 2008, kolaps-nya Bank Century akhirnya tidak dapat ditutupin lagi.
Hanya ada beberapa opsi urgen yang harus diambil, selamatkan atau tutup. Dan dalam hal ini, Bank Indonesia merekomendasikan bahwa Bank Century harus diselamatkan, karena jika ditutup akan berdampak sistemik. Pada periode yang sama tepatnya 7 Oktober 2008, Bank Indover (bank negara dibawah Bank Indonesia yang beroperasi di Belanda) ditutup, karena DPR dan Menkeu enggan menyuntik dana. Perlu dicatat bahwa Bank Indoever memiliki jumlah aset yang hampir sama dengan Bank Century. Penutupan Bank Indover tidak menyebabkan dampak sistemik seperti kekhawatiran Boediono. Dan ketika Bank Indonesia (Boediono) mengatakan penutupan Bank Century akan menyebabkan dampak sistemik, Menkeu Sri Mulyani maupun DPR setuju untuk menyelamatkan. Dari sisi ini, terlihat perbedaan keputusan, bisa jadi karena ‘jaringan’ kasusnya berbeda, tapi bisa juga karena ‘kepentingan’.
Benarkah penutupan Bank Century akan berdampak sistemik? Ini menjadi perdebatan umum bagi pro dan kontra aksi heroik LPS mengucurkan Rp 6.7 triliun ke Century. Dampak sistemik dalam pengertian Undang Undang (BI dan LPS) adalah kegagalan suatu bank yang akan berpengaruh secara berantai terhadap perbankan nasional secara khusus dan sistem keuangan bangsa secara umum, yang pada gilirannya berpotensi memicu krisis ekonomi.
Dari definisi ini, kita perlu melihat kesehatan rata-rata perbankan nasional secara umum. Apakah kasus ‘perampokan’ juga terjadi di Bank-Bank selain Century. Semestinya BI atau LPS memiliki data sekaligus memiliki kewajiban mengawasi perbankan. Pertanyaan utama adalah : apakah hanya Century yang bermasalah (“perampokan”)?
Pertanyaan kedua, dikemanakan saja dana nasabah dikelola oleh perbankan nasional? Jika dana nasabah dikelola dengan baik, maka perbankan nasional artinya semakin ’strong’ atau kuat. Dan pertanyaan akhir, adakah dana-dana perbankan nasional yang berafiliasi dengan Bank Century? Dan jika jawaban terakhir tidak, maka sebenarnya terlalu dini mengatakan penutupan Bank Century akan berdampak sistemik, sebuah frasa kekhawatiran yang sama ketika Indover akan ditutup yang ternyata tidak terbukti.
Keputusan mengambil alih suatu bank yang gagal merupakan perkara yang teramat penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak, baik bagi nasabah, perekonomian maupun dana masyarakat. Untuk mempelajari kasus ini, kita akan melihat dan membandingkan dengan kasus Bank Indover.
“Selamatkan” Bank Si Robert Tantular, “Bunuh” Bank Milik Negara
Berdasarkan data yang terungkap hingga Agustus silam, dengan perbandingan dana yang ‘tergantung’ di masing-masing bank (Indover vs Century), semestinya kekhawatiran Menkeu Sri Mulyani dan orang-orang BI bahwa penutupan Bank Century berdampak sistemik perlu ditelaah lebih lanjut. Berbeda dengan Bank Century, justru sebagian ”nasabah” (dana) di Indover berasal dari dana perbankan BUMN seperti BRI, Mandiri, BNI. Setidaknya dana BRI pada Indover mencapai Rp 461 miliar, lalu Bank Mandiri US 31 juta (Rp 341 miliar), BNI sebesar Rp 156 miliar, Bank Bukopin sebesar US$ 15 juta (Rp 165 miliar), Bank CIMB Niaga sejumlah US$ 5 juta (Rp 55 miliar). Atau total dana perbankan nasional di Indover mencapai lebih Rp 1 triliun.
Sementara itu, belum ada kabar dana perbankan nasional yang besar yang tersimpan di Bank Century. Mayoritas dana nasabah Century berasal dari konglomerat seperti Budi Sampoerna dan Murdaya Poo, dan dikabarkan juga terdapat dana pensiunan tentara Amerika. Sehingga penyelamatan Bank Century terkesan tidak adil bila dibanding Bank Indover yang notabene milik negara, padahal angka bantuan likuiditas pada akhirnya sama yakni Rp 6.7 triliun untuk Century milik si Robert Tantular dan Rp 7 triliun untuk Indover milik negara Indonesia. Ternyata….dalam hal ini, LPS, Menkeu Sri Mulyani, dan Boediono lebih memilih “menyelamatkan” Robert Tantular dibanding “negara Indonesia”.
Lalu, mengapa DPR setuju menyelamatkan “Bank Robert Tantular” ketimpang “Bank Negara”?
Sebagai informasi, untuk menutup atau menyuntik dana ke bank-bank yang bermasalah mesti mendapat persetujuan dari DPR terkait penggunaan anggaran negara/lembaga negara. Dalam kasus Bank Indover vs Bank Century, DPR lebih memilih menyelamatkan Century ketimpang Indover? Mengapa?
Salah satu hal yang dapat saya tarik benang merah mengapa DPR menolak menyelamatkan Indover karena dana bailout (likuidasi) yang dibutuhkan Bank Indover harus mencapai angka Rp 7 triliun, dan itu akan menyedot anggaran APBN. Jika dana bail-out hanya 1 – 2 triliun, tidak tertutup kemungkinan Indover akan diberi bailout juga. Menurut anggota DPR Dr. Drajad Wibowo, angka penyelamatan Indover terlalu besar, dan ia percaya bahwa penutupan Bank Indover tidak akan berdampak secara sistemik seperti Boediono khawatirkan. Karena dana di Indover hanya sekitar Rp 10-an triliun, sangat kecil dibanding dana perbankan nasional yang mencapai lebih dari Rp 1500 triliun.
Dan mengapa DPR pada awalnya setuju agar BI bersama LPS mengambil alih Bank Century dikarenakan bahwa pada awalnya BI memberi laporan bahwa untuk menyelamatkan Century, ‘hanya’ diperlukan dana Rp 632 miliar.Yang kemudian DPR hanya diberitahu bahwa dana bailout yang keluar cuma Rp 1.3 triliun. Karena besaran serta aset Bank Century yang hampir sama dengan Bank Indover, maka langkah penyelamatan Bank Century dengan dana sekitar Rp 1 triliun masih dianggap wajar oleh DPR.
Namun…lampu hijau yang diberikan oleh DPR tampaknya menjadi “reaksi berantai” pengucuran dana yang lebih besar. Bank Indonesia telah memberi analisis laporan yang keliru, dan bisa dikatakan plintat-plintut. Harusnya, berbekal pengalaman 1997-1998, Bank Indonesia sudah memprediksi kemungkinan terburuk besaran dana yang harus dikucurkan jika Century diselamatkan. Dan semestinya BI menyebutkan angka Rp 632 miliar hanyalah dana awal, yang kemudian hari berpotensi membengkak jika terjadi rush money yang besar. Dan terbukti, terjadi aliran dana yang besar pada November – Desember 2008, sehingga pada akhirnya angka penyelamatan “Robert Tantular” membengkak hingga lebih dari 1000% yakni Rp 6.7 triliun.
Apakah laporan rekomendasi yang pertama (Rp 632 miliar) hanya menjadi ‘umpan’ agar ada legalitas dari DPR agar menyetujui membantu nasabah konglomerat seperti keluarga Murdaya Poo (penyumbang dana kampanye SBY-Boediono), Boedi Sampurna atau turut membantu dana nasabah pensiunan tentara Amerika? Karena jika bank Century ditutup, maka para deposan besar hanya akan mendapat jaminan Rp 2 miliar, tidak lebih tidak kurang. Sedangkan nasabah dibawah Rp 2 miliar akan dibayar full.
Jika Bank Indonesia cermat, semestinya pasca mergernya 3 bank ‘pesakit’ yakni Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac menjadi Bank Century, BI mengawasi secara intensif kinerja dan tindak tanduk bank Century. Dan mestinya juga BI mendapat data (atau secara aktif mencari data) perbankan Century untuk ditindaklanjutin. Namun, tampaknya BI ‘loss’, padahal data menunjukkan Bank Century tetap bermasalah karena memiliki surat valas berkualitas rendah (bodong). Dan ditambah pada pertengahan Juli 2008, Century mengalami kesulitan likuditas yang ditandai penarikan DPK oleh nasabah besar, antara lain, Sampoerna, PT Timah, dan Jamsostek. Sehingga, bank terpaksa melakukan taking dari bank lain yang semakin meningkat. Ini mestinya menjadi entry point bagi BI untuk merekomendasi dan memutuskan Bank Century ditutup saja.
Penutupan Bank Century sekaligus untuk memberi pelajaran bagi masyarakat agar tidak menyimpan dana di perbankan yang ‘iseng’. Namun, fakta berbicara lain. Bank Century diselamatkan dengan dana ekstra. Ada banyak pihak yang merasa diuntungkan atas penyelamatan Century. Para deposan besar kegirangan, dan bukanlah mustahil mereka akan “berpesta” seraya menjadi ‘dermawan’ atas para pejabat yang telah menyelamatkan Bank Century.
Domain BPK
Sampai disini, kita masih bertanya-tanya mengapa terjadi penyelamatan Bank Century yang disertai suntikan dana yang besar? Tanpa penyelidikan lebih lanjut, maka yang muncul hanyalah spekulasi dan dugaan. Dan untuk penyelidikan lebih lanjut, BPK telah dan sedang melakukan audit keuangan Bank Century. BPK harus bisa menemukan data-data yang menjadi pertimbangan mengapa BI menyelamatkan Century, dan disisi lain LPS kewalahan ketika November hingga Desember 2008 terjadi penarikan dana secara besar-besaran yang mencapai Rp 5.67 triliun. BPK harus menyelidiki kemana saja dana aliran bailout Rp 6.7 triliun itu “menguap”? Karena sampai saat ini, masih ada puluhan ribu nasabah kelas ‘teri’ (nasabah kecil) Century yang tidak bisa menarik dananya.
Dari uraian di atas, sebagian besar saya hanya bisa berspekulasi, dan saya harus menunggu harus audit dari BPK. Dan dari audit BPK, kita baru dapat sedikit banyak menjawab mengapa Bank Century tetap diselamatkan padahal pemilik dana di Century hanya 0.1% dari total dana perbankan nasional? Mengapa bank yang sudah dirampok pemiliknya sendiri tetap diinjeksi dana secara gila-gilaan hingga mencapai Rp6,7 triliun? Bukankah kesepakatan awal dana talangan hanya Rp1,3 triliun? Lalu, kemanakah larinya uang Rp6,7 triliun itu sehinga nasabah kecil harus tiap hari melakukan demonstrasi?
Apakah benar bahwa suntikan dana itu hanya mengalir deras ke kantong deposan kelas “kakap” dan konglomerat penyumbang dana kampanye SBY-Boediono? Semua itu akan terjawab, jika BPK melakukan audit investigasi secara transparan. Audit investigasi BPK sekaligus mengurangi spekulasi yang berkembang. Dan hingga saat ini, Ketua BPK menyatakan akan memeriksa Menkeu Sri Mulyani, Mantan Gubernur BI Boediono dan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede dalam waktu dekat. (Kompas, 15/09/09)
Kita tunggu hasil pemeriksaan BPK yang telah berjanji menyelesaikan audit pertama pada akhir September, dan audit final pada pertengahan Oktober 2009. Dan kita harapkan, BPK memang bekerja secara independen, profesional dan berintegritas untuk keadilan dan kebenaran!
Salam Perubahan,
ech-wan (16 Sept 2009)
Referensi: Antara, 30/08/09 —UU 24/2004 tentang LPS — Kompas, 15/09/09— UU 03/2004 tentang Bank Indonesia (pra. UU 23/1999) —-Republika, 28/08/09
Penyelamatan Century : Siapa yang Diuntungkan?
TuesdayPosted by Firstinformation at 3:18 PM
Labels: Pemerintahan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment